Beranda | Artikel
Bolehkah Ghibah Terhadap Orang yang Zalim - Syaikh Saad bin Nashir Asy-Syatsri
Senin, 22 November 2021

Bolehkah Ghibah Terhadap Orang yang Zalim – Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri

Wanita ini bertanya, “Apa perbedaan antara ghibah dan mengeluhkan perbuatan seseorang kepada orang lain dengan menceritakan perbuatan orang yang menzaliminya hanya sekedar untuk membela diri saja, tidak lebih dari itu.”
Ghibah hukumnya haram karena Allah Ta’alā berfirman, “Dan janganlah kalian menggunjing satu sama lain. …Adakah seorang di antara kalian suka jika memakan daging saudaranya yang sudah meninggal? …Tentulah kalian akan merasa jijik.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Dan pengertian ghibah telah dijelaskan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau,

“Ghibah itu adalah membicarakan kejelekan saudaramu yang tidak dia sukai.” (HR. Muslim)

Yakni, kejelekan yang benar-benar ada pada dirinya, sehingga hukum asal ghibah adalah haram. Di antara bentuk ghibah adalah membicarakan aib orang lain dan menceritakan apa yang telah dia lakukan, berupa perbuatan-perbuatannya yang tidak terpuji. Ini semua adalah ghibah. Dengan demikian, apa yang disebutkan oleh penanya adalah salah satu bentuk ghibah.
Ketika seorang wanita bercerita kepada temannya, “Si fulanah telah berbuat ini dan itu kepadaku.”
Bahwa si fulanah telah berkata ini dan itu tentang aku. Bahwa si fulanah telah membicarakanku dengan perkataan begini dan begitu. Ini semua adalah ghibah, tidak boleh dilakukan, walaupun menceritakan tentang kezaliman orang lain. Seseorang berkata, “Si fulanah telah menzalimi saya.” Atau dia berkata, “Si fulanah telah mengambil hak saya.”Ini juga kezaliman, ini adalah ghibah walaupun yang dikatakan benar adanya.

Dan ghibah diperbolehkan dalam beberapa kondisi, di antaranya di majelis pengadilan. Dia bisa menggugat, “Si fulan telah berbuat ini dan itu kepada saya.” Agar tergugat bisa diadili dan penggugat bisa mendapatkan haknya. Seperti ini tidak mengapa. Begitu pula ketika ada orang yang datang melamar, ketika pelamar datang. Kemudian dikabarkan tentangnya bahwa dia pernah berbuat ini dan itu atau dia sifatnya begini dan begitu.

Namun hendaknya dia berusaha menyampaikan dengan bahasa yang santun dan tidak vulgar selagi memungkinkan.  Begitu pula ketika ingin menggugurkan kesaksian saksi. Begitu pula ketika ada orang yang melakukan penyimpangan dan penyimpangan tersebut diikuti orang-orang padahal dia adalah orang yang menyelisihi kebenaran.

Kesimpulannya, hukum asal ghibah adalah haram, haram hukumnya menceritakan aib orang lain, kecuali ada alasan-alasan yang dibenarkan syariat.

================================================================================

سَأَلَتْ تَقُولُ: هَلْ هُنَاكَ فَرْقٌ بَيْنَ الْغِيْبَةِ وَبَيْنَ أَنْ يَشْتَكِيَ الْإِنْسَانُ لِآخَرَ

يَقُولُ مَا ظُلْمَ إِنْسَانٍ لَهُ مِنْ بَابِ فَضْفَضَةٍ فَقَطْ لَا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ

الْغِيْبَةُ مُحَرَّمَةٌ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا

أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا

فَكَرِهْتُمُوهُ – الحجرات: ١٢

وَالْغِيْبَةُ فَسَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْلِهِ

هِيَ ذِكرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

يَعْنِي مِمَّا هُوَ فِيهِ وَبِالتَّالِي الْأَصْلُ فِي الْغِيبَةِ هُوَ التَّحْرِيمُ

مِنَ الْغِيْبَةِ ذِكْرُ مَعَايِبِ الْآخَرِينَ ذِكْرُ مَا فَعَلُوهُ

مِنْ أُمُورٍ غَيْرِ مُسْتَحْسَنَةٍ كُلُّ هَذَا غِيْبَةٌ

وَمِنْ ثَمَّ مَا ذَكَرَتْهُ سَائِلَةٌ هَذَا نَوْعٌ مِنْ أَنْوَاعِ الْغِيْبَةِ

عِنْدَمَا تَتَحَدَّثُ الْمَرْأَةُ عِنْدَ زَمِيلَتِهَا: فُلَانَةٌ فَعَلَتْ بِي

فُلَانَةٌ قَالَتْ فِيهِ لِي

فُلَانَةٌ تَكَلَّمَتْ فِيَّ بِالْكَلَامِ الْفُلَانِيِّ

هَذَا كُلُّهُ غِيْبَةٌ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ حَتَّى مَسَائِلِ الظُّلْمِ

تَقُولُ فُلَانَةٌ ظَلَمَتْنِي

تَقُولُ أَنَّ فُلَانَةً أَخَذَتْ حَقِّيْ

هَذَا ظُلْمٌ هَذَا غِيْبَةٌ وَلَوْ أَنَّهُ كَانَ حَقِيقَةً

وَإِنَّمَا تَجُوزُ الْغِيْبَةُ فِي مَوَاطِنَ مِنْهَا عِنْدَمَا فِي مَجْلِسِ الْقَضَاءِ

اِشْتَكَتْ فُلَانٌ فَعَلَ بِي ذَلِكَ مِنْ أَجْلِ أَنْ يُحْكُمَ عَلَيْهِ

وَيُؤْخَذَ الْحَقُّ هَذَا لَا بَأْسَ بِهِ

وَمِثْلُهُ مَا لَوْ تَقَدَّمَ خَاطِبٌ مَا لَوْ تَقَدَّمَ خَاطِبٌ

فَيُقَالُ فِيهِ أَنَّهُ فَعَلَ الشَّيْءَ الْفُلَانِيَّ أَوْ كَانَ مِنْ صِفَاتِهِ كَذَا

وَيَنْبَغِي أَنْ يُقْتَصَرَ بِالتَّلْمِيحِ عَنِ التَّصْرِيحِ مَتَى أَمْكَنَ ذَلِكَ

وَهَكَذَا فِي الطَّعْنِ فِي شَهَادَةِ الشُّهُودِ

وَهَكَذَا إِذَا كَانَ هُنَاكَ مَنْ يُغَرُّ بِهِ

وَيَكُونُ هُنَاكَ مَنْ يَتَّبِعُ عَلَى طَرِيقَتِهِ وَهُوَ مُخَالِفٌ لِلْحَقِّ

فَالْأَصْلُ تَحْرِيمُ الْغِيْبَةِ تَحْرِيمُ الْكَلَامِ فِي مَعَايِبِ الْآخَرِينَ

إِلَّا لِمُقْتَضٍ شَرْعِيٍّ

 


Artikel asli: https://nasehat.net/bolehkah-ghibah-terhadap-orang-yang-zalim-syaikh-saad-bin-nashir-asy-syatsri/